Kamis, 25 Juni 2020

Lentera yang Terang Redup

Beranda kehidupan mengesampingkan paruhnya harta, tatkala hidup sakit menanggung lara. Kosakata indah hanya ada dalam cerita, tapi tidak untuk hidup ku. Goresan belati tetangga mungkin tak pernah disadari bekasnya. Walaupun tertutup tampaklah berbeda. Mulut yang bau bukan mulut yang dipenuhi dengan makanan yang menyebabkan, tetapi diisi hujatan dan makian, karena baunya bisa melekat dan mendarah daging hingga hari tua.

Sebagian sisa mereka buang dan tumpah dalam tong yang lekat dengan bau. Dari tanganku ku angkat perlahan memposisikan sesuai keseimbangan, dua roda penanggung beban. Rodanya terbuat dari karet keras yang diselipkan dengan rangka besi yang dipenuhi cat. Bagian depan yang dulu kemudi berubah menjadi pipa yang memanjang. Setelah tepat seimbang barulah aku dorong dengan sekuat tenaga, tanpa masker penutup hidung, aku hanya mampu hembuskan nafas dan menariknya sesekali. Baunya yang semakin menusuk membuatku medorongnya lebih kuat. Supaya sampai tujuan pembuangan akhirnya, disitulah aku bertahan hidup, demi sesuap nasi dan uang sekolah.

Proletar, hasutnya orang yang tinggal disebelah rumah sewa kami. Terusir, seolah menjadi bagian cerita yang berulang. Hanya kesadaran yang membuatku bangkit dan menerimanya, berusaha menjadikan batu semangat untuk bekalku nanti.

Sisa uang dari laki-laki pemangku kehidupan kami, cukup untuk menerangkan beberapa hari listrik tetanggaku. Selepasnya aku dan sanakku menahan rasa kuat perut peminta. Hanya usapan perlahan yang mengganjalnya.

Mimpiku haruslah lebih terang sekalipun redup tangan pembawa semangat. Carilah dan jangan menyerah, nasihat laki-laki kecil pengendara roda delapan yang besar. Ku kayuh pedal yang ku punya untuk sebuah waktu misteri nanti.

Surut dan pasang berlalu, akhirnya ku tegakkan atap dengan pondasi yang kuat untuk keluarga kecilku.

Tidak ada komentar: