Kamis, 25 Juni 2020

Jika Aku Tertawamu

Bumi kecilku, terletak di timur pulau pangeran Diponegoro pernah berjuang, sementara dia berada di barat. Aku terlahir dahulu dan aku tak tahu tentang dia. Dia menjadi sosok paling anggun yang menerima kebodohan, kepolosan dan kemalanganku.

Sore itu menjelang senja ku tatap dan ku sapa dia. Senyum yang lebar ku tampakkan dengan penuh percaya. Roda dua dengan pedalnya, sedikit ku lambatkan, aku menoleh melihat kacamatanya dan sambutan hangat wajahnya yang tampak letih setelah berjalan. 

Tinggal di kota dan gang sempit, tetap membuat sudut indah dipipinya. Senantiasa hadir dan keceriaan, jika aku berjumpa di jalan. Ku rapatkan niatku dan kusampaikan ke Penciptaku, ijinkanlah Ya اللّٰه. 

Selang waktu berganti, ku tegaskan niatku. Akhirnya ada jalan untuk bertemu menyampaikan khitbahku. Seminggu menjawab tanda tanya dari pikiranku, IYA. Sambil menghela nafasku, aku ucapkan syukur sedalam-dalamnya setelah dua puluh sembilan khitbah ku tertolak dan ditolak.

Tak lama, aku menjemputnya dengan cincin sebagai maharnya. Kupinang dia di depan penghulu, ku panjatkan doa terbaik agar teriring perjalanan yang indah bersamanya kelak.

Hantaman badai, terpaan topan, jeritan Sunami, getaran tanah, gelimang wajah, tak memudarkannya untuk selalu menemaniku. Ijinkan aku membuatmu tertawa, karena aku tertawamu yang paling indah baik di dunia dan akhirat kelak SayanK.

Lentera yang Terang Redup

Beranda kehidupan mengesampingkan paruhnya harta, tatkala hidup sakit menanggung lara. Kosakata indah hanya ada dalam cerita, tapi tidak untuk hidup ku. Goresan belati tetangga mungkin tak pernah disadari bekasnya. Walaupun tertutup tampaklah berbeda. Mulut yang bau bukan mulut yang dipenuhi dengan makanan yang menyebabkan, tetapi diisi hujatan dan makian, karena baunya bisa melekat dan mendarah daging hingga hari tua.

Sebagian sisa mereka buang dan tumpah dalam tong yang lekat dengan bau. Dari tanganku ku angkat perlahan memposisikan sesuai keseimbangan, dua roda penanggung beban. Rodanya terbuat dari karet keras yang diselipkan dengan rangka besi yang dipenuhi cat. Bagian depan yang dulu kemudi berubah menjadi pipa yang memanjang. Setelah tepat seimbang barulah aku dorong dengan sekuat tenaga, tanpa masker penutup hidung, aku hanya mampu hembuskan nafas dan menariknya sesekali. Baunya yang semakin menusuk membuatku medorongnya lebih kuat. Supaya sampai tujuan pembuangan akhirnya, disitulah aku bertahan hidup, demi sesuap nasi dan uang sekolah.

Proletar, hasutnya orang yang tinggal disebelah rumah sewa kami. Terusir, seolah menjadi bagian cerita yang berulang. Hanya kesadaran yang membuatku bangkit dan menerimanya, berusaha menjadikan batu semangat untuk bekalku nanti.

Sisa uang dari laki-laki pemangku kehidupan kami, cukup untuk menerangkan beberapa hari listrik tetanggaku. Selepasnya aku dan sanakku menahan rasa kuat perut peminta. Hanya usapan perlahan yang mengganjalnya.

Mimpiku haruslah lebih terang sekalipun redup tangan pembawa semangat. Carilah dan jangan menyerah, nasihat laki-laki kecil pengendara roda delapan yang besar. Ku kayuh pedal yang ku punya untuk sebuah waktu misteri nanti.

Surut dan pasang berlalu, akhirnya ku tegakkan atap dengan pondasi yang kuat untuk keluarga kecilku.

Sebilah Senja Pisahkan Hidup dan Mati

Senandung kokok ayam memulai pagi, pesan dari penguasa alam bahwa hidup sebatas waktu. Terusik aku, karena niatku untuk bangun begitu mendengar kicau indah suara mercu suar pagi. Seolah mengabarkan sang pencatat amal akan turun dan naik bergantian. Aku menahan rasa kantuk ku, bangkit menuju air yang jernih di pagi hari.

Ku buka kran air dan ku kucurkan hasil minumku semalam, serasa tak kuat menahan. Air toilet yang jernih berubah menjadi keruh dengan warna kuning. Begitu selesai, ku tekan jalur buangnya, agar air yang jernih menyiramnya. Ku tengok ke atas kulihat langit masih menghitam pudar. Ku bersihkan badanku dan perlahan ku basuh dengan seksama bagian mukaku.

Perlahan-lahan, rasa kantuk yang kuat ku coba hikangkan dengan mengambil air dan mulai berkumur. Ku sibakkan lengan bajuku, kuambil lebih banyak air jernih itu. Ku usapkan ke muka dan menepiskan rasa kantukku yang mengendap di mataku. Ku lanjutkan dengan mengusap kedua tanganku dan membasahi kepalaku. Ku putarkan kedua tanganku ke bagian kedua telingaku secara bersamaan. Ku tutup dengan merasakan segarnya air jernih yang mengalir di kedua kakiku secara bergantian.

Sang penguasa alam, memanggil dan menyerukan di dalam kepalaku segeralah-segeralah. 4 kali sujudku menutup pagi ini dengan kesedihan yang luar biasa yang coba ku utarakan pada-Nya. Ijinkan aku kembali dengan Rahmat-Mu berkumpul dengan kedua orang tuaku, Istriku dan anak-turunku. Jiwa yang terbelah tak karuan yang diragu-ragukan lawan Hidup memekikan kalimat pergilah jangan ganggu Aku untuk bersimpuh kepada-Nya.

Kala itu, suara panggilan sangat kuat, memberi tanda perpisahan, ku tengok langit mulai menggelap. Tak terbayangkan sosok yang senantiasa memberikan arti dalam hidupku, lepas pergi, Mati memanggilnya. Setelahnya aku berharap cemas agar bisa melihat sosoknya untuk terakhir kali, tapi sayang kabar itu terlambat disampaikan....lukaku masih ternganga, jumpa mu adalah harapan sirna.

Seolah hidup berdekatan dengan kematian. Setiap waktu tidak ada yang tahu kapan waktunya. Senja kala itu memisahkan aku dengannya dan menyisakan jalan yang tak sedikit. Penciptaku, maafkan aku, buatlah aku ikhlas melepasnya.

Sabtu, 20 Juni 2020

Dinda November '96- Januari '97 bagian 2

Assalamu'alaikum 
Dinda

"Ini temanku bu" sahut Dinda, "Dia yang mengantarkan Dinda pulang. Namanya Endi dari smp 1" Sambil mengenalkan diriku ke Ibunya Dinda minta ibunya untuk mempersilahkan masuk Aku ke tumahnya. "Masuk dulu nak" Ibu Dinda menawariku. "Bu, maaf saya harus buru-buru pulang, soalnya belum makan" jawabku lugu, karena rasa lapar yang tak tertahan lagi. Karena bingung mau menolak akhirnya kuputuskan memarkir sepedaku ke halaman rumahnya. Ibu Dinda menjamu makan siang yang jarang aku dapatkan di rumah. Biasanya hidangan tempe, sayur bayam, krupuk dan nasi adalah makanan terlezat yang bisa ku santap. Kali ini menunya berbeda, "Ya, الله nikmat apalagi yang bisa kudustakan darimu" petikan ayat Al-Qur'an menggema di kepalaku "Makan, Bismillah".
Disitu Dinda tampak keheranan, telur dan ayam bumbu bali buatan ibunya yang biasa dia makan dan tak pernah habis, aku makan dengan lahap tanpa jeda untuk berbicara dengannya. Seolah sikap yang sama terjadi ketika Dinda memperhatikanku di Gerbang sekolah. Aku tidak sadar sedikitpun kalau Dinda sedang memperhatikanku dengan seksama. Setelah dia mandi dan ganti baju aku tidak sadar kalau dia sudah di meja makan menemaniku. Mungkin saking lahapnya menyantap menu yang tidak biasa membuat Dinda keheranan. Selesai aku tuntaskan makan siangku dengan porsi yang memalukan, setiap kali Ibunya Dinda lewat depan meja makan selalu menawariku untuk nambah nasinya. Dan tidak sadar aku sudah menghabiskan 2 telur ayam dan 2 potong ayam serta sayur yang harusnya untuk Dinda habis aku lahap. 
Sambil menggelengkan kepala Dinda pun bertanya "Kamu kelaparan ?", spontan ku jawab tanpa wajah berdosa "Iya, dari tadi pagi cuma sarapan roti, tadi ada ulangan, jadi bikin nafsu makanku bertambah" dengan lugu sekali aku menimpali pertanyaannya. "eh...aku boleh pulang?" tanyaku. "Tunggu dulu ya, aku selesaikan makanku, kata ibu mau ngajak ngobrol sebentar" jawab Dinda.
"Oh iya deh, aku tunggu di ruang tamu gimana ?" balasku,"jangan dulu deh, temani aku makan dulu sebentar, itu sudah dibuatkan jus buah oleh Mama" jawab Dinda.
Sambil melanjutkan minum jus buah buatan Ibu Dinda, aku lihat sekeliling dinding rumah dan perabotan yang ada. Tanpa sadar dari tadi aku tampak jadi orang yang terheran-heran dengan isi rumah Dinda, yang jauh dari rumah kontrakan kami, yang sebagian besar dikelilingi batako tanpa hiasan bahkan ada sisa bekas kebakaran. Tampak pemandangan yang jauh berbeda sama sekali dengan keadaan rumahku. 

Dinda November '96- Januari '97 bagian 1

Assalamu'alaikum 
Dinda

Aku pulang bersepeda kala itu, hujan rintik aku tetap nekat untuk pulang. Seperti biasa aku melewati jalan yang biasa aku pulang, rencananya. Namun, kali ini tak seperti biasa aku ingin lewat Jalan Dhoho yang merupakan jalan arteri, entah kenapa hati ingin melewatinya. Lurus menuju alun-alun kota, tiba-tiba hujan semakin deras. Kuputuskan berbelok mencari tempat berteduh. 
Ku tepikan sepedaku tepat gerbang masuk sebuah pintu sekolah [SMP Pawyatan Daha 2]. Setidaknya ada bagian atap gerbang yang melindungiku dari hujan kala itu. Hujan deras mulai datang, namun tak lama hujan yang deras itu lewat begitu cepat. Seketika itu hujan kembali rintik-rintik. Tak terasa sudah 21 menit aku berdiri di depan gerbang itu, karena terlalu fokus dengan tas dan baju sekolah agar tak basah oleh hujan, aku lupa memperhatikan sekelilingku.
Tatkala aku bersiap meneruskan perjalananku, ada seorang siswi smp yang sudah sedari tadi berada di sudut sebrang gerbang sekolah itu yang tampak menunggu. "Oh, maaf.." ucapku, "kamu darimana" balasnya, tampak cekungan di pipi menghiasi pipinnya menjadi penyedap pandangan.
"Aku dari smp 1, kebetulan lewat sedang hujan, jadi kuputuskan untuk berteduh dulu, aku khawatir kalau buku pelajaran sekolahku basah, namaku Endi" aku menceritakan kondisiku kala itu. "Hmm... dari smp 1 negeri kah?" dia bertanya, spontan ku balas "iya". Sekali cekungan pipi itu tampak kentara dengan jelas, sekalipun kadang aku menolehkan pandanganku pada kendaraan roda dua yang mulai ramai menghiasi jalan raya.
"Aku sedang menunggu jemputan, sudah 1 jam berlalu. belum ada yang jemput juga, sementara hanya tinggal aku siswi di kelas jadi kuputuskan menunggu di Gerbang, sejak tadi aku mengawasimu. Jarang sekali kau menoleh ke arahku, sedari tadi apakah kau tidak tahu kalau sedang ku perhatikan?" katanya.
"Benarkah?!" aku sedikit malu dan menundukkan pandanganku.
"Kamu kearah mana?" diapun bertanya.
"Aku ke arah kaliombo, biasanya motong jalan, untuk pulang." jawabku.
"Maukah kau mengantarku, maksudku memberi tumpangan?" permintaannya
"Mmm...tapi apa kau mau duduk di belakang sepeda jengkingku yang keras ini!?" tanyaku
spontan dia menjawab "Iya, ndak pa pa".
Itulah pertama kali aku bertemu dengannya. Selama mengayuh sepeda dan mengantar ke rumahnya yang searah denganku. Dia tak pernah berbicara terlalu banyak. Hanya memberikan arah rumahnya dimana. Aku sempat bertanya siapa namanya sekali saja dan dia menjawab Dinda nama panggilannya. Pertama kali seumur hidupku aku membonceng wanita dengan sesadar-sadarnya dengan Sepeda Jengki yang jauh dari ekspektasiku adalah wanita dengan wajah yang berseri indah dihiasi lesung pipit dipipinya. Tidak seperti wanita disekolahku yang sudah tentu menolak laki-laki sepertiku dengan sepeda bututku.
Selama perjalanan aku tidak terlalu banyak tanya, rumahnya di daerah Tosaren, aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Disana berjajar perumahan yang asing bagi orang yang tinggal di pesisir kota kecil sepertiku. Sedikit terheran aku memandang tempat tinggalnya, karena mungkin dia anak orang mampu dari kelas menengah ke atas.
Setibanya, di gerbang pintu depan rumahnya tampak wanita setengah baya datang menghampiri kami. "Dinda..., kamu tidak pa pa nak?, maaf ibu sudah mencoba telepon ke sekolahmu tapi tidak ada yang angkat" kata ibunya. Ternyata wanita itu adalah Ibu Dinda yang sedari tadi bingung, karena Ayah Dinda tiba-tiba tidak bisa menjemput dikarenakan mengikuti rapat terbatas. Hanya orang mampu saja yang bisa berlangganan telepon dering kala itu. Keluargaku  tentu tidak akan kuat kalau harus bayar biaya berlangganan atau abonemen tiap bulannya, penghasilan ayahku hanya cukup untuk makan, biaya sekolahku sendiri di topang oleh jaring pengaman sosial dan beasiswa prestasi bagi anak tak mampu, jauh dari kesan mewah dan arogan sekolahku.