Sabtu, 15 Mei 2021

Namaku bukan Udin!

 Namaku bukan Udin!

"Bangsat nang endi bocah kuwi!", Teriakkan itu begitu kencang dan membuat takut buluh kidik ku. "Wis bakar omahku, Jancuk kon Diiiinnn!"... Serasa keras terdengar saudaraku ingin membunuhku. Sejak itu namaku Udin dan sebelum usiaku menginjak 4 tahun. Aku hanya menangis ketakutan seluruh warga dan saudaraku termasuk Bapakku mengecamku untuk mati saja. Hanya seorang ibu yang membelaku dan berusaha melindungiku. 

Kala itu masih puasa awal Ramadhan 1407, aku belum tahu arti puasa, hanya tahu kalau melihat sesuatu aku ingin mencobanya. Sampai hari ini aku tak bisa menghapus dari ingatanku dan tak bisa mengubah hukum moral untuk seorang anak yang belum genap usia 4 tahun harus mendapatkan sanksi keras dengan label Udin yang bukan namanya, dikenal si pembakar rumah Udin.

Kadang aku merasa kesal kenapa harus punya orang tua dan saudara yang selamanya terus mendustakan tindak pidana mereka pada seorang anak kecil. Apakah Adil? Peristiwa itu dijadikan hukuman seumur hidupku dengan label dan cap yang buruk, sampai-sampai nama itu berkibar se-antero jagad, semua teman yang ada di kota itu dari semenjak sd, smp, dan sma bahkan ketika bertemu di usia senja ku mereka tetap dengan label yang sama "Udin Bakar Rumah" di singkat Udin. Darisanalah asal nama itu bermula.

Aku marah, benci dan mengecam balik siapapun yang memanggilku dengan nama itu! ITU BUKAN NAMAKU, SEKALI LAGI ITU BUKAN NAMA KU

JANCUK KANGGO SAPA WAE SING NYELUK AKU UDIN

Sabtu, 23 Januari 2021

Mengeja Namamu, Dara Annisa

Dara Annisa (1)
Waktu bergulir dan berlalu begitu cepat, masa bertemu sangatlah singkat, tak terasa akhirnya berpisah denganmu. Jalan yang kian ramai menjadi saksi bahwa aku pernah bersamamu. Walaupun sekedar teman yang sangat tak berarti apapun untukmu.
Setiap permulaan selalu menuntun perpisahan. Aku hanya bisa mengenang sekalipun masa telah bergulir begitu cepat. Aku tak berdaya dan sadar akan berpisah denganmu dan harus sadar takkan penah berjumpa dengan kembali. Seolah keheningan malam menjawab pertanyaanku.
"Ndi, aku akan melanjutkan studi ku di tempat yang jauh!" serasa baru kemarin kau ucapkan perpisahan dan kau nyatakan bahwa kita hanya akan menjadi teman dan kenangan. Setiap belokkan jalan yang pernah kita lalui sekarang bisa aku lihat di google.map dan hanya itu yang tersisa.
20 Tahun lebih telah berlalu. Aku sadar begitu kau membenciku, ketika itu. Aku berharap kini kau melupakannya dan memaafkanku. Kabar terakhir, sayup-sayup ku dengar kau menyandang status Janda karena ditinggal dahulu oleh suamimu.
Takdir tak pernah menyenangkan aku hanya bisa mengikuti goresan cerita mu, Tatkala mendiang suami baru saja meninggal beberapa bulan. Goresan tinta hitam yang menyayat tak pelak membuat hati ku pada mendiang suamimu. Ya, aku kalah telak dari segiapapun dari suamimu.
"Ah, biarlah semua berlalu!" Tantangan takdir dan nasib seolah membuat ku terus melaju untuk melanjutkan hidupku. Pernah suatu kali puasa Ramadhan aku bermimpi tentangmu. Tampak wajah yang sedih dari seorang ibu melihat anaknya. Aku tak tahu kalau kau memiliki seorang anak dari hasil pernikahanmu. Tepat setelah aku melihat catatan sebuah twitter aku membaca apa yang telah kau tinggalkan dengan catatan seorang ibu dengan anak usia 3 tahun. Tak kusangka engkau begitu kerasnya memilih membesarkan seorang diri anakmu.
Aku adalah teman dan kenangan yang selalu ada dalam lintas waktu yang sama, tapi berbeda ruang dan tempat. Semoga kau bahagia Dara.