Senin, 25 April 2016

Bulan Purnama 1983 (Fiksi) (bagian 1)

Dia pun bercerita, "Kenalkan Namaku Dian Wulandari, ayahku memberi nama itu karena aku sang putri rembulan", huuu...teriakkan teman sekelas menyambutnya. Dia datang dengan membawa kepercayaan tentang putri dongeng yang pernah ia impikan. "Udin..., jangan bikin masalah saja!" ya itu nama panggilanku. Seorang penggemar cerita dongeng pangeran dan putri dari Istana. "Sebentar aku punya ide, biar bisa kenalan dengan sang putri!" kataku, "Din, kamu jangan bikin masalah lagi!" kata Rosihan. Rosihan teman ku yang selalu mengingatkanku supaya tidak buat yang macam-macam. Dia adalah teman SD-ku yang datang dari perantauan. Rosihan juga tahu kisah masa kecilku yang pernah menjadi perhelatan akbar di arena kampung halamanku. Ya, cerita tentang...."Udinnn....., cepetan ambil bantuin ember, jangan diam saja habis bakar rumah..." suara Pak RT yang kebigungan setelah aku berhasil dengan percobaan korek apiku. Yah, benar rumahku terbakar hampir separuh rumah ludes terbakar dan aktor yang terkenal itu adalah aku. Kemudian julukan "Anak Pak Mamik yang jago Bakar Rumahpun" terkenal seantero kampung. Semua hampir mengenalku gara-gara itu. Tak luput temanku yang satu ini, hmmm, selalu mengingatkanku untuk tidak berbuat onar. "Sebentar ideku ini, tidak akan seperti biasanya, ini lain han..!", "Asal tidak mempermalukanku dan khususnya kau ini, buatku tidak masalah" sambut rosihan. 

Berikutnya rencanapun dijalankan. Sembari jalan melenggang usai pelajaran matematika aku mendekati Dian, "ehmm...Dian", "Ada apa Din" Dian pun membalas. "Rosihan titip salam tuh, terus mau ngirim puisi yang isinya pertanyaan..." sengaja aku berdalih kalau itu buatan rosihan, sambil nyengir aku buat semua reka adegan bak seorang pangeran yang akan melantukkan saja untuk sang putri.

red puisi: 
Wahai putri, kemenangan harimu tidak kami tahu, bilakah ada, bagikanlah kepada kami... 
Wahai putri, bila ada kesempatan berkunjung, ijinkanlah kami tahu tempat kami harus berkunjung... 
Wahai putri, adakah cerita tentang dirimu sesuai dengan namamu yang indah... 
Wahai putri, Tolong engkau jawab dengan kerendahan hati tuan putri yang anggun. 

Tidak lama, gombalanku berhasil. Secarik kertas dan pensil di kotak peralatan sekolah pun ia ambil. Di tuliskan lengkap nama lengkapnya, alamat rumah dan cerita dibalik namnya. Padahal tidak semua murid bisa mengalahkan angkuhnya, tuan putri ini, bahkan sekeping uang receh-pun bisa dihitung dengan benar. Serba detil, akurat, dan tidak mau kalah..itulah sosok tuan putri yang sebenarnya.
red : 
Nama ku: Dian Wulandari 
Tanggal Lahir: 2 Juli 1983 
Alamat: Desa Ngreco, gang 5, rumah besar dengan tanaman anggrek didepan rumah, jangan lupa ada Gelombang Cinta-nya. 

Dian bermakna keindahan, putri nan cantik jeilta Wulan berarti Bulan Dari maksudnya Dadari dalam istilah jawa untuk menyebut purnama 
"SANG PUTRI BULAN PURNAMA NAN CANTIK JELITA

Dian memberikan secarik kertas itu dengan senyum penuh makna dan maksud yang jelas. "Sampaikan ini untuk pangeranku Ya!"...lalu aku pergi sambil tersenyum, " Tentu, jangan kuatir". Rencana berjalan lancar, rosihan-pun kaget setelah aku kasih tahu..hehe. 
"Ternyata wajah ganteng mu memang ada manfaatnya, syukurlah karena wajah yang ganteng memang dibutuhkan untuk rencana ini". "Din, Ingat jangan sampai Dian jadi benci sama aku, kan ini semua rencanamu" rosihan memberi peringatan cukup keras, "tenang dijamin aman, toh kelas sebelah kan g tahu menahu asal-usul ceritanya..hehe" pikirku singkat dan segera menuju tahap berikutnya. 

Selain aku harus hidup, berjuang untuk sekolah, maka jual informasi untuk buat jajan bolehlah. Rosihan sendiri tidak tahu kalau untuk masalah ini aku memilih dualisme. Karena sang putri yang angkuh ini cukup banyak penggemar di sekolah, jadi informasi tentang sang putri ada harganya, bagaimana tidak dari kampungnya sudah dapat sebutan sebagai Bunga Desa. Nah, akhirnya informasiku-pun terjual dengan baik tanpa kusadari bahwa suatu saat Dian akan mendapatkan masalah karena hal ini. 

Dengan membawa nama Rosihan,"Din, kemarin aku tidak datang ke tempat yang kamu janjikan ke Dian untuk ketemu" karena dari awal Rosihan tidak setuju dengan ideku (Maaf, temanku yang satu ini juga termasuk sombaong dengan ketampanannya ... :( ) ."Lah terus gimana?, waduh mana tempatnya mungkin dia kesusahan nyari!, Duh cilaka aku!"..."Ya ALLAH semoga tidak terjadi apa-apa sama Dian.", Aku-pun buru-buru menengok keluar jendela untuk memastikan Dian tetap masuk sekolah hari ini. Dengan was-was dan komat-kamit tidak karuan, sementara pekerjaan rumah hari ini belum selesai semua, wah bubar deh...tiba-tiba Emma nyeletuk "Din lu ngapain?" aku segera menyambar pertanyaannya dengan pertanyaanku "Em, hari ini Dian masuk ndak?", "Emang kenapa?" balas Emma."Ehmm....itu Em", "itu apa? yang jelas!" bentaknya. Emma merupakan sohib dari Dian yang paling dekat, tomboy, energik, suka berantem sama anak laki-laki sekalipun dia cewek tidak berarti harus kalah dengan cowok itu mottonya. 
"Gini Em, kemarin Dian katanya janjian gitu sama cowok tapi...", "Ooww elu ya yang kemarin bikin mbak Dian hampir celaka, untung gw disana"... Sembari mengangkat tangan hendak memukulku, "Stop!", Rosihan segera melerai perkelahian itu. "Sudah jangan diteruskan sebentar lagi masuk kelas", seperti suara vespa milik bapaknya Dian, dalam hati aku berkata tumben sampai di depan ruang kelas,biasanya hanya sampai gerbang sekolah. "Ah..." aku terkejut sang putri datang dipapah masuk kelas. Ternyata kaki Dian terkilir, keseleo berat, Rosihan-pun datang segera menghampiri sang putri untuk menggantikan ayah sang putri untuk membantunya. Ayah Dian berpesan untuk membantu Dian selama belajar di kelas, karena kakinya belum sembuh benar. Balutan pengikat warna coklat, bekas pijatan dan bau minyak urut-pun tercium. Seperti biasa Rosihan dengan tenang mengatakan pada sang putri," Maafkan aku ya Dian, kemarin aku enggak datang sampai terjadi peristiwa ini", "emang kenapa? apakah ucapan Udin hanya tipuan, Dasar Udin suka ngibul!" balas sang putri dengan menatap ke wajahku dengan muka marah serta getir-nya ancaman matanya padaku. "Maaf Dian, bukan begitu!" Rosihan berusaha menenangkan sang putri. "Aku kemarin bantu orang tuaku untuk kemas-kemas barang yang di rumah, mungkin nanti aku lanjutkan ceritanya waktu istirahat nanti". 

Peristiwa pagi yang mengejutkan sekali untukku. Wajah Dian yang murka ketika menatapku benar-benar aku ingat. "Ya ALLAH, Ampunilah aku" doaku, kali ini Sang putri benar-benar marah padaku. Wajahnya yang cantik tampak berpaling dengan pandangan yang pahit menusuk hatiku.