Sabtu, 20 Juni 2020

Dinda November '96- Januari '97 bagian 1

Assalamu'alaikum 
Dinda

Aku pulang bersepeda kala itu, hujan rintik aku tetap nekat untuk pulang. Seperti biasa aku melewati jalan yang biasa aku pulang, rencananya. Namun, kali ini tak seperti biasa aku ingin lewat Jalan Dhoho yang merupakan jalan arteri, entah kenapa hati ingin melewatinya. Lurus menuju alun-alun kota, tiba-tiba hujan semakin deras. Kuputuskan berbelok mencari tempat berteduh. 
Ku tepikan sepedaku tepat gerbang masuk sebuah pintu sekolah [SMP Pawyatan Daha 2]. Setidaknya ada bagian atap gerbang yang melindungiku dari hujan kala itu. Hujan deras mulai datang, namun tak lama hujan yang deras itu lewat begitu cepat. Seketika itu hujan kembali rintik-rintik. Tak terasa sudah 21 menit aku berdiri di depan gerbang itu, karena terlalu fokus dengan tas dan baju sekolah agar tak basah oleh hujan, aku lupa memperhatikan sekelilingku.
Tatkala aku bersiap meneruskan perjalananku, ada seorang siswi smp yang sudah sedari tadi berada di sudut sebrang gerbang sekolah itu yang tampak menunggu. "Oh, maaf.." ucapku, "kamu darimana" balasnya, tampak cekungan di pipi menghiasi pipinnya menjadi penyedap pandangan.
"Aku dari smp 1, kebetulan lewat sedang hujan, jadi kuputuskan untuk berteduh dulu, aku khawatir kalau buku pelajaran sekolahku basah, namaku Endi" aku menceritakan kondisiku kala itu. "Hmm... dari smp 1 negeri kah?" dia bertanya, spontan ku balas "iya". Sekali cekungan pipi itu tampak kentara dengan jelas, sekalipun kadang aku menolehkan pandanganku pada kendaraan roda dua yang mulai ramai menghiasi jalan raya.
"Aku sedang menunggu jemputan, sudah 1 jam berlalu. belum ada yang jemput juga, sementara hanya tinggal aku siswi di kelas jadi kuputuskan menunggu di Gerbang, sejak tadi aku mengawasimu. Jarang sekali kau menoleh ke arahku, sedari tadi apakah kau tidak tahu kalau sedang ku perhatikan?" katanya.
"Benarkah?!" aku sedikit malu dan menundukkan pandanganku.
"Kamu kearah mana?" diapun bertanya.
"Aku ke arah kaliombo, biasanya motong jalan, untuk pulang." jawabku.
"Maukah kau mengantarku, maksudku memberi tumpangan?" permintaannya
"Mmm...tapi apa kau mau duduk di belakang sepeda jengkingku yang keras ini!?" tanyaku
spontan dia menjawab "Iya, ndak pa pa".
Itulah pertama kali aku bertemu dengannya. Selama mengayuh sepeda dan mengantar ke rumahnya yang searah denganku. Dia tak pernah berbicara terlalu banyak. Hanya memberikan arah rumahnya dimana. Aku sempat bertanya siapa namanya sekali saja dan dia menjawab Dinda nama panggilannya. Pertama kali seumur hidupku aku membonceng wanita dengan sesadar-sadarnya dengan Sepeda Jengki yang jauh dari ekspektasiku adalah wanita dengan wajah yang berseri indah dihiasi lesung pipit dipipinya. Tidak seperti wanita disekolahku yang sudah tentu menolak laki-laki sepertiku dengan sepeda bututku.
Selama perjalanan aku tidak terlalu banyak tanya, rumahnya di daerah Tosaren, aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Disana berjajar perumahan yang asing bagi orang yang tinggal di pesisir kota kecil sepertiku. Sedikit terheran aku memandang tempat tinggalnya, karena mungkin dia anak orang mampu dari kelas menengah ke atas.
Setibanya, di gerbang pintu depan rumahnya tampak wanita setengah baya datang menghampiri kami. "Dinda..., kamu tidak pa pa nak?, maaf ibu sudah mencoba telepon ke sekolahmu tapi tidak ada yang angkat" kata ibunya. Ternyata wanita itu adalah Ibu Dinda yang sedari tadi bingung, karena Ayah Dinda tiba-tiba tidak bisa menjemput dikarenakan mengikuti rapat terbatas. Hanya orang mampu saja yang bisa berlangganan telepon dering kala itu. Keluargaku  tentu tidak akan kuat kalau harus bayar biaya berlangganan atau abonemen tiap bulannya, penghasilan ayahku hanya cukup untuk makan, biaya sekolahku sendiri di topang oleh jaring pengaman sosial dan beasiswa prestasi bagi anak tak mampu, jauh dari kesan mewah dan arogan sekolahku.

Tidak ada komentar: